Selasa, 17 April 2012

Gundul


Gundul
Karya: DJ

Kata ibu
Dulu waktu aku lahir
Rambutku lebat dan bergelombang
Orang-orang suka menggendong aku
Katanya aku menggemaskan, lucu
Kini matahari di atas kepala
Modern katanya, gaul katanya
Rambutku dibuat berbeda
Dipotong, kadang merah kadang kuning
Tak jarang rambutku ditukar dengan nasi
Mereka tak peduli
Walau aku akan mati
Mereka tetap buta
Walau aku menelan harta bahkan nyawa
Aku sakit
Rambut tinggal separoh kepala
Sedang matahari terus berjalan
Kemana aku akan dibawa?

Cintaku Bersemi di Bukit Flora


 Cintaku Bersemi di Bukit Flora


“Sampah lagi, sampah lagi. Setiap hari rasanya  kita dijejali dengan kata sampah. Untung saja aku tidak jadi sampah sehingga tidak dihimbau untuk dibuang ke tong sampah”gerutu Dedek kesal sambil matanya terus menatap kedepan.
Dengan intonasi lirih karena takut terdengar oleh Pak Isgi guru PLH yang pada saat itu menerangkan tentang sampah, Raga dibelakang kursi  menjawab “Mungkin seandainya kamu sampah, kamu akan dibuang ke tong warna kuning, karena waktu pelajaran saja kamu masih susah untuk bermanfaat bagi orang lain.”
Mendengar komentar itu Dedek hanya bisa menoleh sebentar dengan hati dongkol.
Teeeet….teeeeet…. tanda istirahat telah tiba.
“ Jadi kesimpulannya adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya banjir  dengan membuang sampah pada tempatnya, jelas ya?” kata pak Isgi menutup perjumpaannya pada hari itu.
Serentak semua siswa kelas XI IPS 1 menjawab “Jelas pak.”
     Ditengah istirahat Raga siswa pindahan sebulan yang lalu dari SMA 10 Surabaya selalu menyempatkan diri untuk memungut sampah yang berserakan disetiap sudut gedung SMAneta. Walau tak jarang dia mendapat cerca dari temanya namun  tak pernah diangggap. Baginya kalau bukan kita siapa lagi yang akan peduli tentang sampah.
       Hari ini cerca itu berulang kembali saat Raga masuk kelas dua  menit telah berlangsung.
“Maaf bu saya terlambat.’ Kata Raga sopan sambil menjabat tangan bu Dj.
‘Lain kali jangan terulang kembali ya!” kata bu Dj. Belun sempat Raga menjawab himbauan bu Dj, dari belakang Dedek sudah berkomentar.
 “ Makanya ke sekolah pakai motor biar ndak telat, hari gini pakai sepeda pancal ndak zaman bro.”
“Huuuuuu…” seru komplotan dedek. Ada yang mengeluarkan suara satu sehingga nadanya tinggi, ada juga yang mengeluarkan suara dua dengan nada rendah sehingga terdengar seperti paduan suara asuhan bu Peni. Mendengar itu Raga tak menyahut kemudian Raga mengambil tempat duduk paling belakang karena postur tubuh Raga yang tinggi, dibelakang tempat duduk Dedek. Pelajaran Bahasa Indonesiapun berlalu sempurna.
       Tanpa disadari oleh siapapun setiap hari rupanya ada sepasang mata yang selalu memperhatikan gerak Raga. Gadis itu adalah Ambarwati teman sekelasnya. Gadis yang aktif dalam Osis sekbid lima yang bergerak dalam bidang humas. Tinggi semampai,kulitnya putih, mata sipit, karena  itu sehingga temanya memanggil nipon. Kelebihan yang dimilikinya lagi adalah Ambar mempunyai otak encer dan nyali yang besar, cocok sekali memang kalau di sekbid lima.
“ Lagi ngelamunin apaan sih mbar? serius banget.” tanya Rini teman sebangkunya.
“Ah, mau tau aja kamu.”  
“ Cerita dong masak ke aku juga segitunya, jahat kamu.” Rengek Rini sambil  memegang tangan Ambar.
“ Ada deh, pokoknya nanti juga kamu akan kuberitahu, Ok.” jawab Ambar kemudian beranjak dari tempat duduk karena di luar kelas ada yang berteriak-teriak menyebut nama Raga.
“ Ga,ambil semua sampah ini, dan jangan lupa masukkan ke tong yang benar sesuai dengan jenisnya ha…ha…ha…!” Rupanya Dedek dan kawan-kawan sedang mengerjai Raga.
“ Kamu sendiri kenapa, ndak punya tangan? Jawab Raga ndak kalah dengan Dedek.
 “Lho, biasanya kan kamu yang selalu menjaga lingkungan sekolah ini dari sampah. Ndak salah kan kalau aku menyuruh kamu untuk mengambilnya?”
“Iya, tapi ndak salah juga kalau mulai sekarang kamu juga ikut menjaga lingkungan ini supaya tetap bersih! Aku anak pindahan saja mampu menjaga lingkungan ini padahal umurku disini baru sebulan masak kamu ndak bisa?”  Mendengar jawaban itu Dedek hanya mencibir.
“ Halaaa.. sudah ambil saja Ga,  itung-itung buat tukar tambah sepeda pancal dengan motor biar tidak terlambat untuk memunguti sampah di kelas kita, iya ndak Dek.” Edy yang juga terkenal biang onar sangat menikmati momen itu untuk mengerjai Raga.
“ Benar itu.” kata Dedek singkat
“Apanya yang benar?” Tanya Risky dengan mengangkat bahu dan kedua tangannya dibantu dengan muka tak berdosa sepeti itu cocok sekali kalau temannya selalu memanggilnya si O’on.
“Ah, sudah kita ke kantin yuk!” Dengan sombong Dedek dan kawan-kawan meningggalkan Raga dan sampah yang rupanya sengaja ditumpahkan olehnya. Karena sudah terbiasa makanya Raga enteng saja membersihkan sampah dengan sapu kelas kemudian membuang sampah ketempatnya masing-masing sesuai dengan jenisnya. Kejadian itu juga tak luput dari penglihatan Ambar yang sedari tadi memang sengaja hanya sebagai penonton.
     Dengan dalih ingin menjaga lingkungan makanya setiap pergi pulang sekolah Raga naik sepeda yang jaraknya kira-kira 5 kilometer.
Biar sehat katanya sewaktu ibunya menyuruh untuk naik motor.
     Kepindahan Raga karena orang tuanya dipindah tugaskan di Pasuruan.
     Hari ini pulang sekolah Raga seperti biasa naik sepeda. Tanpa diduga bertemu dengan Dedek di jalan sedang membetulkan motornya. Keringat rupanya sudah membasahi seluruh tubuh. Rasa kesal karena capek juga sudah sampai keotaknya karena waktu sudah didekatnya Raga mendengar umpatan yang jelas ditujukan kemotornya.
“Kenapa Dek?”
“Ndak tahu nih tiba-tiba saja macet, sudah aku buka businya ternyata masih aktif.” terang Dedek sambil mencoba untuk mengembalikan lagi businya.
“Boleh aku bantu?” Raga mencoba untuk menawarkan jasanya.
“Emangnya kamu bisa?”
“Ya..apa salahnya kalau aku mencoba. Di Surabaya aku punya teman yang buka bengkel jadi sedikit-sedikit aku juga bisa.”
“Iya deh kalau begitu.”
Raga kemudian mengotak-atik mesinnya.
“Laa.. ini biangnya ternyata kabulatornya yang kotor.” Raga berkata sambil terus mencoba membersihkannya. Setelah 30 menit berlalu.
“Coba kamu starter!” suruh Raga
Tanpa menunggu lagi Dedek berdiri dan
Drennn….drennn…dreeen….  
“Wah, terima kasih yah! Dengan apa kira-kira aku membalasnya?” Dedek mencoba untuk tersenyum.
“Udah ndak usah merasa berutang, itulah gunanya teman, Iya kan?” Dedek merasa sungkan dibalas seperti itu.
“Ngomong-ngomong kamu ndak punya motor?” Tanya Dedek apa adanya.
“Punya sih, cuma aku lebih senang naik sepeda karena pertimbangan beberapa hal.”
“Apa itu?” rupanya Dedek penasaran dengan jawaban Raga.
“ Karena aku tidak ingin menambah lapisan ozon semakin menipis, kemudian dengan naik sepeda badanku akan sehat dan yang terakhir aku bisa hemat biaya.Dan satu lagi kata temanku naik sepeda itu seksi, entah dilihat dari sudut pandang mana dia mengatakan itu. Aku juga bertanya-tanya tapi boleh juga.”
“Wah tambah ndak enak nih aku, ternya ta kamu asik juga ya.. kalau gitu karena  dekat aku juga naik sepeda ah. Itung-itung berkurang satu orang yang mengotori udara dengan asap kendaraannya. Iya ndak Ga?” seru Dedek dengan muka berseri. Raga membalasnya dengan tersenyum.
“Ok. Kita cabut yuk! sekali lagi aku terima kasih.” sambung Dedek. Kemudian mereka berlalu.
     Besoknya di SMAneta.
“Waaah, ada angin apa nih kok  tumben-tumbennya kamu naik onthel?” Tanya Edy yang kebetulan bertemu di parkiran.
“Kemarin ada angin ribut jadi motorku tidak aku pakai sekarang kuganti dengan sepeda. Hebat ndak?” yang ditanya malah cengar-cengir tak mengerti.
“Ada apa sih, aku bingung deh.”
‘Udah ndak usah garuk-garuk kepala seperti itu, aku yakin kepalamu ndak gatal. Mulai sekarang kita harus peduli lingkungan, Ok?” Edy tambah tak mengerti. Ada apa ini. Tanyanya dalam hati. Sampai di kelaspun Edy mencari jawab tak kunjung datang dikepalanya.
     Setiap hari Dedek selalu mengerahkan teman-temannya untuk selalu peduli tentang kebersihan lingkungan minimal seputar kelas katanya.  
     Ada tanda tanya besar bertenggger dikepala Ambar seperti juga pemikiran diotak Edy. Ada apa ini?
      “Rin kita ke rumah Raga yuk, kebetulan besok kan hari Minggu jadi aku bebas untuk keluar rumah!” ajak Ambar waktu di kantin sekolah.
“Lho kamu ndak tahu yah, setiap hari Mingggu Raga selalu ndak di rumah. Katanya besok ada acara di Bukit Flora entah apa acaranya dia ndak ngomong sama aku.” Terangnya sambil mengunya makanan
‘Rupanya kamu tahu banyak mengenai Raga.”
“Ya..Ambar. Kamu saja yang ketingggalan kereta makanya jangan humas saja yang diurusi. Kebangetan deh kalau kamu ndak tahu aktifitas teman, sekelas lagi.”
“Di mana itu bukit Flora?’ selidiknya.
“Aku juga ndak banyak tahu tentang itu pokoknya dia mengatakan kepadaku bahwa besok akan ke bukit flora. Udah deh, kalau kamu ada urusan penting sama dia nyusul gih kesana!” rupanya Rini sudah bosan ditanya melulu.
“Emangnya ada apaan sih penting banget kayaknya?” Rini malah bertanya
Yang ditanya hanya nyengir kuda.
     Hari Minggu sampai juga Ambar di bukit flora. Bukit yang agak sedikit tak berpohon. Rupanya pernah terjadi penebangan hutan secara besar-besaran karena tampak oleh Ambar disana-sini sisa pangkal pohon yang habis ditebang. Ambar mencoba tebar lagi pandangan guna mencari seseorang. Tak ada. Ambar kemudian memarkir mobilnya dibawah pohon asam yang agak rindang. Tidak sunyi senyap betul  karena kira-kira 8 meter disebelah pohon asam ada rumah warga berjejer memanjang kira-kira 4 rumah jadi tampak aman. Kemudian Ambar mencoba lagi menelusuri jalan setapak menuju puncak bukit mungkin dia ada disana. Jalan yang penuh dengan batu kerikil tajam menuntun Ambar kesana. 30 menit Ambar berjalan dan disana-sini keadaanya sama dengan suasana yang di jumpainya dilereng bukit. Benar juga ada suara banyak orang di puncak bukit itu.
“Satunya lagi ditanam disebelah batu besar itu!” kata suara itu. Ambar mengarahkan pandangan kesana dan menemukan yang selama ini dia cari.Rupanya dia sedang menanam pohon. Betapa gagah dan tampannya dia memakai topi hijau, kaos warna senada bertuliskan Yayasan satu Daun dipungggungnya. Celana jens warna biru muda menambah santai penampilannya. Sepatu ket warna putih yang dipakai sudah kotor tapi dia nyaman sekali. Hatinya tiba-tiba bergetar. Deg-degan. Ada apa ini. Apakah aku jatuh cinta padanya? Benarkah? Bagaimana ini? Mungkinkah cinta pertamaku bersemi di bukit flora ini?
Saat galau menyeruak dalam pikirannya tiba-tiba tanpa sengaja Raga menoleh kearah kanan dan mendapatkan diri Ambar sedang menatapnya.
“Ambar?” serunya kemudian berjalan kearah Ambar berdiri.
“Ada apa kamu kesini?” belum sempat Ambar menjawab dia sudah mengajak duduk di bawah pohon.
“Kita duduk di bawah pohon itu yuk!’ ajak Raga. Ambar menuruti saja tanpa berkomentar. Hatinya masih ndak percaya bahwa dia saat ini  bersama dengan Raga. Rupanya Raga mengetaahui kondisi Ambar sehinggga menawarkan sebotol air yang selalu dibawanya.
“Mau minum?”
“nggak, aku nggak haus lagian aku juga bawa ditas.” jawab Ambar.
“Ada keperluan apa kamu menyusul aku disini dan pastinya kamu diberitahu oleh Rini yah kalau aku disini. Masalahnya hanya Rini yang tahu.”
Lama Ambar berpikir dan Raga hanya menungggu jawabannya.
“Emmm…..sebenarnya ndak ada yang penting. Cuma akhir-akhir ini aku mencoba mencari jawab akan perubahan yang dilakukan Dedek. Karena perubahan itu ada hubungannya dengan lingkungan akhirnya aku memutuskan untuk mencari jawab kearah kamu. Dan sampailah aku disini.” Ambar tampak lega setelah mengatakan itu karena takut tidak bisa ngomong dihadapan Raga.
“Terus setelah tahu bahwa ada hubungannya denganku kamu mau apa?” mendapat pertanyaan itu tiba-tiba hatinya kembali menanyakan pertanyaan yang dari tadi tak terjawab. Mau apa Aku. Pikirnya. Terlintas jawaban yang aman.
“Aku mau pulang.” Kata Ambar sambil berdiri dan merapikan bajunya yang kusut karena habis duduk.
“Semudah itu?” Tanya Raga.
“Kan sudah terjawab.” Saat kaki Ambar mau melangkah tiba-tiba tangannya dipegang oleh Raga. Hatinya berdebar kencang. Tangannya menjadi dingin. Rasa-rasanya bukir flora terasa bergoyang. Dan Ambar hanya bisa memandang Raga.
“Kalau kamu sudah menemukan jawaban atas pertanyan seputar Dedek sekarang di bukit flora ini aku membutuhkan  sebuah jawaban yang selama ini ada  halam hatiku. Dan hanya kamu yang bisa memberikan jawabannya. Pertanyaannya adalah maukah kamu jadi pacarku?” bergoncang sudah rasanya bukit flora oleh Ambar. Kakinya menjadi lemas. Untuk itu Raga mengajaknya untuk duduk kembali.
Setelah dirasa tenang kembali Raga melontarkan pertanyaan kembali.
“Apakah hatiku bersambut?”
“Iya.” Kata Ambar lirih.
“Terima kasih.”
“Lho kok terima kasih?”
“Soalnya hari ini kamu kesini, coba kalau kamu tidak kesini galau ini akan bertambah panjang dan aku hanya bisa memandang kamu dari seberang meja. Trims deh.” Kata Raga. Rupanya tangan Raga tak bisa lepas dari tangan Ambar begitu juga dengan tangan Ambar juga tak mau lepas. Ada pijar cinta diwajah mereka berdua.
“Mau membantu menanam seribu pohon?” seru Raga mengagetkan Ambar.
“Mau dong.”
Kemudia mereka berdiri sambil tersenyum, senyum penuh makna.
“Kesini naik apa?” Tanya Raga sambil berjalan disebelah Ambar.
“Naik mobil dan aku parkir dibawah pohon asam.” Kata Ambar sambil menunjukkan arah kebawah.
“kita pulang bareng yah?” Ajak Raga.
“Lha kamu kesini naik apa?”
“Naik mobil juga.” Raga tahu yang dipikirkan Ambar kemudian dia berkata
“Ah gampanglah itu biar temanku  membawa mobilku. Aku nebeng mobilmu.”
“Ok. Sekarang ingatlah selalu bahwa kamu adalah pacarku dan aku adalah pacarmu. Dan catat juga bahwa di bukit floralah cinta kita bersemi.” Raga berusaha untuk menjelaskan seperti layaknya seorang guru.
“Dan satu lagi hari ini jangan jauh-jauh dariku aku kangen sekali kepadamu.”
Ambar tak bisa berkata-kata hanya bisa  tersenyum mendengar ocehan Raga yang baginya sangat terasa indah. Menanam seribu pohon dengan sang pacar. Ah, indahnya. Hati Ambar berkata.

Jumat, 23 Maret 2012