Cintaku Bersemi di Bukit Flora
“Sampah lagi, sampah lagi. Setiap hari
rasanya kita dijejali dengan kata
sampah. Untung saja aku tidak jadi sampah sehingga tidak dihimbau untuk dibuang
ke tong sampah”gerutu Dedek kesal sambil matanya terus menatap kedepan.
Dengan intonasi lirih karena takut
terdengar oleh Pak Isgi guru PLH yang pada saat itu menerangkan tentang sampah,
Raga dibelakang kursi menjawab “Mungkin
seandainya kamu sampah, kamu akan dibuang ke tong warna kuning, karena waktu
pelajaran saja kamu masih susah untuk bermanfaat bagi orang lain.”
Mendengar komentar itu Dedek hanya
bisa menoleh sebentar dengan hati dongkol.
Teeeet….teeeeet…. tanda istirahat
telah tiba.
“ Jadi kesimpulannya adalah salah
satu cara untuk mencegah terjadinya banjir dengan membuang sampah pada tempatnya, jelas
ya?” kata pak Isgi menutup perjumpaannya pada hari itu.
Serentak semua siswa kelas XI IPS
1 menjawab “Jelas pak.”
Ditengah istirahat Raga siswa pindahan
sebulan yang lalu dari SMA 10 Surabaya selalu menyempatkan diri untuk memungut
sampah yang berserakan disetiap sudut gedung SMAneta. Walau tak jarang dia
mendapat cerca dari temanya namun tak
pernah diangggap. Baginya kalau bukan kita siapa lagi yang akan peduli tentang
sampah.
Hari ini cerca itu berulang kembali saat
Raga masuk kelas dua menit telah
berlangsung.
“Maaf bu saya terlambat.’ Kata
Raga sopan sambil menjabat tangan bu Dj.
‘Lain kali jangan terulang kembali
ya!” kata bu Dj. Belun sempat Raga menjawab himbauan bu Dj, dari belakang Dedek
sudah berkomentar.
“ Makanya ke sekolah pakai motor biar ndak telat,
hari gini pakai sepeda pancal ndak zaman bro.”
“Huuuuuu…” seru komplotan dedek.
Ada yang mengeluarkan suara satu sehingga nadanya tinggi, ada juga yang mengeluarkan
suara dua dengan nada rendah sehingga terdengar seperti paduan suara asuhan bu
Peni. Mendengar itu Raga tak menyahut kemudian Raga mengambil tempat duduk paling
belakang karena postur tubuh Raga yang tinggi, dibelakang tempat duduk Dedek.
Pelajaran Bahasa Indonesiapun berlalu sempurna.
Tanpa disadari oleh siapapun setiap hari
rupanya ada sepasang mata yang selalu memperhatikan gerak Raga. Gadis itu
adalah Ambarwati teman sekelasnya. Gadis yang aktif dalam Osis sekbid lima yang
bergerak dalam bidang humas. Tinggi semampai,kulitnya putih, mata sipit,
karena itu sehingga temanya memanggil
nipon. Kelebihan yang dimilikinya lagi adalah Ambar mempunyai otak encer dan
nyali yang besar, cocok sekali memang kalau di sekbid lima.
“ Lagi ngelamunin apaan sih mbar?
serius banget.” tanya Rini teman sebangkunya.
“Ah, mau tau aja kamu.”
“ Cerita dong masak ke aku juga
segitunya, jahat kamu.” Rengek Rini sambil
memegang tangan Ambar.
“ Ada deh, pokoknya nanti juga
kamu akan kuberitahu, Ok.” jawab Ambar kemudian beranjak dari tempat duduk karena
di luar kelas ada yang berteriak-teriak menyebut nama Raga.
“ Ga,ambil semua sampah ini, dan
jangan lupa masukkan ke tong yang benar sesuai dengan jenisnya ha…ha…ha…!”
Rupanya Dedek dan kawan-kawan sedang mengerjai Raga.
“ Kamu sendiri kenapa, ndak punya
tangan? Jawab Raga ndak kalah dengan Dedek.
“Lho, biasanya kan kamu yang selalu menjaga
lingkungan sekolah ini dari sampah. Ndak salah kan kalau aku menyuruh kamu
untuk mengambilnya?”
“Iya, tapi ndak salah juga kalau
mulai sekarang kamu juga ikut menjaga lingkungan ini supaya tetap bersih! Aku
anak pindahan saja mampu menjaga lingkungan ini padahal umurku disini baru
sebulan masak kamu ndak bisa?” Mendengar
jawaban itu Dedek hanya mencibir.
“ Halaaa.. sudah ambil saja Ga, itung-itung buat tukar tambah sepeda pancal
dengan motor biar tidak terlambat untuk memunguti sampah di kelas kita, iya
ndak Dek.” Edy yang juga terkenal biang onar sangat menikmati momen itu untuk
mengerjai Raga.
“ Benar itu.” kata Dedek singkat
“Apanya yang benar?” Tanya Risky
dengan mengangkat bahu dan kedua tangannya dibantu dengan muka tak berdosa
sepeti itu cocok sekali kalau temannya selalu memanggilnya si O’on.
“Ah, sudah kita ke kantin yuk!”
Dengan sombong Dedek dan kawan-kawan meningggalkan Raga dan sampah yang rupanya
sengaja ditumpahkan olehnya. Karena sudah terbiasa makanya Raga enteng saja
membersihkan sampah dengan sapu kelas kemudian membuang sampah ketempatnya
masing-masing sesuai dengan jenisnya. Kejadian itu juga tak luput dari
penglihatan Ambar yang sedari tadi memang sengaja hanya sebagai penonton.
Dengan dalih ingin menjaga lingkungan
makanya setiap pergi pulang sekolah Raga naik sepeda yang jaraknya kira-kira 5
kilometer.
Biar sehat katanya sewaktu ibunya
menyuruh untuk naik motor.
Kepindahan Raga karena orang tuanya
dipindah tugaskan di Pasuruan.
Hari ini pulang sekolah Raga seperti biasa
naik sepeda. Tanpa diduga bertemu dengan Dedek di jalan sedang membetulkan
motornya. Keringat rupanya sudah membasahi seluruh tubuh. Rasa kesal karena
capek juga sudah sampai keotaknya karena waktu sudah didekatnya Raga mendengar
umpatan yang jelas ditujukan kemotornya.
“Kenapa Dek?”
“Ndak tahu nih tiba-tiba saja
macet, sudah aku buka businya ternyata masih aktif.” terang Dedek sambil
mencoba untuk mengembalikan lagi businya.
“Boleh aku bantu?” Raga mencoba
untuk menawarkan jasanya.
“Emangnya kamu bisa?”
“Ya..apa salahnya kalau aku
mencoba. Di Surabaya aku punya teman yang buka bengkel jadi sedikit-sedikit aku
juga bisa.”
“Iya deh kalau begitu.”
Raga kemudian mengotak-atik
mesinnya.
“Laa.. ini biangnya ternyata
kabulatornya yang kotor.” Raga berkata sambil terus mencoba membersihkannya.
Setelah 30 menit berlalu.
“Coba kamu starter!” suruh Raga
Tanpa menunggu lagi Dedek berdiri
dan
Drennn….drennn…dreeen….
“Wah, terima kasih yah! Dengan apa
kira-kira aku membalasnya?” Dedek mencoba untuk tersenyum.
“Udah ndak usah merasa berutang,
itulah gunanya teman, Iya kan?” Dedek merasa sungkan dibalas seperti itu.
“Ngomong-ngomong kamu ndak punya
motor?” Tanya Dedek apa adanya.
“Punya sih, cuma aku lebih senang
naik sepeda karena pertimbangan beberapa hal.”
“Apa itu?” rupanya Dedek penasaran
dengan jawaban Raga.
“ Karena aku tidak ingin menambah
lapisan ozon semakin menipis, kemudian dengan naik sepeda badanku akan sehat
dan yang terakhir aku bisa hemat biaya.Dan satu lagi kata temanku naik sepeda
itu seksi, entah dilihat dari sudut pandang mana dia mengatakan itu. Aku juga
bertanya-tanya tapi boleh juga.”
“Wah tambah ndak enak nih aku,
ternya ta kamu asik juga ya.. kalau gitu karena
dekat aku juga naik sepeda ah. Itung-itung berkurang satu orang yang
mengotori udara dengan asap kendaraannya. Iya ndak Ga?” seru Dedek dengan muka
berseri. Raga membalasnya dengan tersenyum.
“Ok. Kita cabut yuk! sekali lagi
aku terima kasih.” sambung Dedek. Kemudian mereka berlalu.
Besoknya di SMAneta.
“Waaah, ada angin apa nih kok tumben-tumbennya kamu naik onthel?” Tanya Edy
yang kebetulan bertemu di parkiran.
“Kemarin ada angin ribut jadi
motorku tidak aku pakai sekarang kuganti dengan sepeda. Hebat ndak?” yang
ditanya malah cengar-cengir tak mengerti.
“Ada apa sih, aku bingung deh.”
‘Udah ndak usah garuk-garuk kepala
seperti itu, aku yakin kepalamu ndak gatal. Mulai sekarang kita harus peduli lingkungan,
Ok?” Edy tambah tak mengerti. Ada apa ini. Tanyanya dalam hati. Sampai di
kelaspun Edy mencari jawab tak kunjung datang dikepalanya.
Setiap hari Dedek selalu mengerahkan
teman-temannya untuk selalu peduli tentang kebersihan lingkungan minimal
seputar kelas katanya.
Ada tanda tanya besar bertenggger dikepala
Ambar seperti juga pemikiran diotak Edy. Ada apa ini?
“Rin kita ke rumah Raga yuk, kebetulan
besok kan hari Minggu jadi aku bebas untuk keluar rumah!” ajak Ambar waktu di
kantin sekolah.
“Lho kamu ndak tahu yah, setiap
hari Mingggu Raga selalu ndak di rumah. Katanya besok ada acara di Bukit Flora
entah apa acaranya dia ndak ngomong sama aku.” Terangnya sambil mengunya
makanan
‘Rupanya kamu tahu banyak mengenai
Raga.”
“Ya..Ambar. Kamu saja yang
ketingggalan kereta makanya jangan humas saja yang diurusi. Kebangetan deh
kalau kamu ndak tahu aktifitas teman, sekelas lagi.”
“Di mana itu bukit Flora?’
selidiknya.
“Aku juga ndak banyak tahu tentang
itu pokoknya dia mengatakan kepadaku bahwa besok akan ke bukit flora. Udah deh,
kalau kamu ada urusan penting sama dia nyusul gih kesana!” rupanya Rini sudah
bosan ditanya melulu.
“Emangnya ada apaan sih penting
banget kayaknya?” Rini malah bertanya
Yang ditanya hanya nyengir kuda.
Hari Minggu sampai juga Ambar di bukit
flora. Bukit yang agak sedikit tak berpohon. Rupanya pernah terjadi penebangan
hutan secara besar-besaran karena tampak oleh Ambar disana-sini sisa pangkal
pohon yang habis ditebang. Ambar mencoba tebar lagi pandangan guna mencari
seseorang. Tak ada. Ambar kemudian memarkir mobilnya dibawah pohon asam yang
agak rindang. Tidak sunyi senyap betul karena kira-kira 8 meter disebelah pohon asam
ada rumah warga berjejer memanjang kira-kira 4 rumah jadi tampak aman. Kemudian
Ambar mencoba lagi menelusuri jalan setapak menuju puncak bukit mungkin dia ada
disana. Jalan yang penuh dengan batu kerikil tajam menuntun Ambar kesana. 30
menit Ambar berjalan dan disana-sini keadaanya sama dengan suasana yang di
jumpainya dilereng bukit. Benar juga ada suara banyak orang di puncak bukit
itu.
“Satunya lagi ditanam disebelah
batu besar itu!” kata suara itu. Ambar mengarahkan pandangan kesana dan
menemukan yang selama ini dia cari.Rupanya dia sedang menanam pohon. Betapa
gagah dan tampannya dia memakai topi hijau, kaos warna senada bertuliskan
Yayasan satu Daun dipungggungnya. Celana jens warna biru muda menambah santai
penampilannya. Sepatu ket warna putih yang dipakai sudah kotor tapi dia nyaman
sekali. Hatinya tiba-tiba bergetar. Deg-degan. Ada apa ini. Apakah aku jatuh
cinta padanya? Benarkah? Bagaimana ini? Mungkinkah cinta pertamaku bersemi di
bukit flora ini?
Saat galau menyeruak dalam
pikirannya tiba-tiba tanpa sengaja Raga menoleh kearah kanan dan mendapatkan
diri Ambar sedang menatapnya.
“Ambar?” serunya kemudian berjalan
kearah Ambar berdiri.
“Ada apa kamu kesini?” belum
sempat Ambar menjawab dia sudah mengajak duduk di bawah pohon.
“Kita duduk di bawah pohon itu
yuk!’ ajak Raga. Ambar menuruti saja tanpa berkomentar. Hatinya masih ndak
percaya bahwa dia saat ini bersama
dengan Raga. Rupanya Raga mengetaahui kondisi Ambar sehinggga menawarkan
sebotol air yang selalu dibawanya.
“Mau minum?”
“nggak, aku nggak haus lagian aku
juga bawa ditas.” jawab Ambar.
“Ada keperluan apa kamu menyusul
aku disini dan pastinya kamu diberitahu oleh Rini yah kalau aku disini.
Masalahnya hanya Rini yang tahu.”
Lama Ambar berpikir dan Raga hanya
menungggu jawabannya.
“Emmm…..sebenarnya ndak ada yang
penting. Cuma akhir-akhir ini aku mencoba mencari jawab akan perubahan yang
dilakukan Dedek. Karena perubahan itu ada hubungannya dengan lingkungan
akhirnya aku memutuskan untuk mencari jawab kearah kamu. Dan sampailah aku
disini.” Ambar tampak lega setelah mengatakan itu karena takut tidak bisa
ngomong dihadapan Raga.
“Terus setelah tahu bahwa ada
hubungannya denganku kamu mau apa?” mendapat pertanyaan itu tiba-tiba hatinya
kembali menanyakan pertanyaan yang dari tadi tak terjawab. Mau apa Aku.
Pikirnya. Terlintas jawaban yang aman.
“Aku mau pulang.” Kata Ambar
sambil berdiri dan merapikan bajunya yang kusut karena habis duduk.
“Semudah itu?” Tanya Raga.
“Kan sudah terjawab.” Saat kaki
Ambar mau melangkah tiba-tiba tangannya dipegang oleh Raga. Hatinya berdebar
kencang. Tangannya menjadi dingin. Rasa-rasanya bukir flora terasa bergoyang.
Dan Ambar hanya bisa memandang Raga.
“Kalau kamu sudah menemukan
jawaban atas pertanyan seputar Dedek sekarang di bukit flora ini aku
membutuhkan sebuah jawaban yang selama
ini ada halam hatiku. Dan hanya kamu
yang bisa memberikan jawabannya. Pertanyaannya adalah maukah kamu jadi
pacarku?” bergoncang sudah rasanya bukit flora oleh Ambar. Kakinya menjadi
lemas. Untuk itu Raga mengajaknya untuk duduk kembali.
Setelah dirasa tenang kembali Raga
melontarkan pertanyaan kembali.
“Apakah hatiku bersambut?”
“Iya.” Kata Ambar lirih.
“Terima kasih.”
“Lho kok terima kasih?”
“Soalnya hari ini kamu kesini,
coba kalau kamu tidak kesini galau ini akan bertambah panjang dan aku hanya
bisa memandang kamu dari seberang meja. Trims deh.” Kata Raga. Rupanya tangan
Raga tak bisa lepas dari tangan Ambar begitu juga dengan tangan Ambar juga tak
mau lepas. Ada pijar cinta diwajah mereka berdua.
“Mau membantu menanam seribu
pohon?” seru Raga mengagetkan Ambar.
“Mau dong.”
Kemudia mereka berdiri sambil
tersenyum, senyum penuh makna.
“Kesini naik apa?” Tanya Raga
sambil berjalan disebelah Ambar.
“Naik mobil dan aku parkir dibawah
pohon asam.” Kata Ambar sambil menunjukkan arah kebawah.
“kita pulang bareng yah?” Ajak
Raga.
“Lha kamu kesini naik apa?”
“Naik mobil juga.” Raga tahu yang
dipikirkan Ambar kemudian dia berkata
“Ah gampanglah itu biar
temanku membawa mobilku. Aku nebeng
mobilmu.”
“Ok. Sekarang ingatlah selalu
bahwa kamu adalah pacarku dan aku adalah pacarmu. Dan catat juga bahwa di bukit
floralah cinta kita bersemi.” Raga berusaha untuk menjelaskan seperti layaknya
seorang guru.
“Dan satu lagi hari ini jangan
jauh-jauh dariku aku kangen sekali kepadamu.”
Ambar tak bisa berkata-kata hanya
bisa tersenyum mendengar ocehan Raga
yang baginya sangat terasa indah. Menanam seribu pohon dengan sang pacar. Ah,
indahnya. Hati Ambar berkata.